Sajak/Puisi/Cerpen/BarokahPost

KOMANDAN : Kalimat Teruntuk Kamu (bagian 2)

by - April 12, 2018



Hey.. Fifah... Aku ingin melihat kau tersenyum... Bolehkah aku melihat kau yang sedang tersenyum?
Aku izin menyimpan fotomu.. 
Hey Cantik.. Aku merindukanmu.. Kamu kemana? Jangan membuat aku cemas.. 
Aku bukan hanya merindukanmu, tapi mencemaskanmu juga.. Aku menyayangimu.. 
Bagaimana denganmu? Apa kau menyayangi aku juga?.. Kenapa kau tak membalas?.. Kau masak apa hari ini? Harumnya sampai ke kantor.. Aku suka warna kulit kecoklatanmu...
 Apa kau masih percaya cinta?.. Bagaimana jika aku mencintaimu?.. Aku ini tipe yang mudah cemburu, kalau kau bagaimana?
 Aku tidak tahu mengapa, saat ini aku takut kehilanganmu, takut kau memilih yang lain.. 
Maaf aku tidak bisa mengontrol diriku, karena aku sudah terlanjur menyayangimu...
Aku merasa senang saat mendengar suaramu.. Aku harus bisa menjagamu bukan? Aku harus memastikan kau aman..
Suatu hari nanti kau mau di panggil dengan sebutan apa? Bun....

DRRTTT... DRRTTT... 

Getar dari ponselku memecah kesunyian dan membuyarkan segala kalimat darimu yang terus berputar dalam benakku, saat itu pukul 02.30 dini hari, rasa kantuk sama sekali tak menggangguku. Entah apa yang membuatku terjaga; rasa rinduku atau rasa sakitku. Aku raih ponselku dan kudapati pesan dari seorang temanku yang memang mempunyai kebiasaan menghubungiku pada jam-jam seperti ini.
.
.
.
Beberapa hari sebelum hari kedatanganmu..

   "Ah, kecengan aku nya juga ga ngasih respon positif wkwk" balasmu ketika aku iseng bertanya mengenai siapa orang yang kamu sukai saat ini.
  "Hahaha.. Yaudah lah ya gausah terlalu di pikirin, sekarang fokus aja sama mimpi dan cita-cita kamu. Kerjaan udah ada, kuliah lagi di jalani, harus semangat terus pokoknya, urusan perempuan mah belakangan. Aku yakin kalau suatu hari nanti kamu jadi 'seseorang', yang deket sama kamu bukan perempuan ecek-ecek, ya istilahnya satu strata lah sama kamu." aku bermaksud menyemangatimu ketika kau terlihat sedang jatuh entah oleh siapa.
  "Iyasih, tapi kan seenggaknya aku butuh buat penyemangat gitu.. Biar lebih semangat ngejalaninnya.." katamu,
  "Ya gampang kalau cuma butuh penyemangat, sewa aja orang buat nyemangatin kamu tiap hari hahaha.." "Ishh dasar, tapi gimana dengan kamu? Kamu ga ada niat buat menjalin hubungan lagi gitu?" tanyamu.
  "Kalau keinginan mah ya pasti ada, tapi nggak untuk sekarang," 
  "Loh kenapa?" katamu heran,
  "Ya aku ngerasanya belum mumpuni aja, aku masih banyak kekurangan dan masih banyak hal yang belum aku mengerti. Aku masih mentah, belum jadi apa-apa. Ngurus diri sendiri aja belum becus apalagi harus berkomitmen dan ngurus orang lain," begitu kataku saat itu. Mungkin dalam benakmu saat itu aku terlihat seperti wanita yang bersikap dewasa, namun pada kenyataannya aku mengatakan itu hanya berdasarkan trauma masa laluku. Aku terlalu takut membuka hati, aku terlalu takut untuk kembali mempercayai seseorang, aku terlalu takut kembali terluka karena sebuah rasa.
  "Gausah mikirin perempuan dulu lah kalau untuk sekarang, ribet urusanya kalau udah berhubungan sama yang namanya perempuan hahaha.." lanjutku, "Iya bu iya paham" balasmu singkat.
.
.
.
    Waktu demi waktu terlewati, perkataanku di atas seperti air yang menguap entah kemana. Kau adalah panas yang merubah wujud itu; aku menyimpan rasa kepadamu dari waktu ke waktu, aku merindukanmu setiap waktu, aku haus akan kalimat-kalimat sederhanamu yang mewarnai hariku.
    Aku mulai terbiasa dengan kehadiranmu di setiap waktuku, tanpa aku sadari aku mulai mempercayai seseorang lagi; mempercayai kepada siapa perasaan ini kuberikan, mempercayai bahwa kau berbeda dengan yang lain, mempercayai segala kalimat-kalimat surgamu yang awalnya aku anggap sebagai bualan semata. Hingga rasanya aku ingin dapat melompati hari ke hari dimana kau berkata akan menemuiku dan memintaku menjadi milikmu. 
    
   Hari yang dinanti telah tiba, apa kau tahu seberapa gugupnya aku ketika menyadari bahwa hari ini kita akan bertemu? Aku mulai berpikir tentang apa yang terlintas di benakmu pertama kali ketika melihat aku, aku berpikir tentang apa kesan pertamamu ketika berbicara denganku secara langsung, aku berpikir tentang apa yang kau rasakan ketika berhadapan denganku langsung, apakah sama dengan apa yang pernah kau katakan melalui ponsel? Apakah akan sama rasanya seperti ketika kita berbicara melalui ponsel? Aku gugup. Tolong aku Tuhan!

    Aku yakin kau tidak akan bertanya tentang kesan pertamaku saat melihatmu saat itu, tidak juga akan bertanya perihal apa yang aku rasakan dan apa yang ada dalam benakku hari itu, tapi biarkan aku mengatakan segala hal yang tak dapat diungkapkan oleh lisan.

Sabtu, 7 April pukul 08.15

"Aku udah nyampe nih," kau mengirim pesan dan memberitahukan bahwa saat itu kau sudah sampai di depan toko swalayan yang aku maksud. "Aku ke depan, tunggu" aku langsung mengambil kunci motor dan menjemputmu disana, tidak sulit menemukanmu karena aku yakin kau terlihat berbeda dari yang lain.
   Aku hampir lepas kendali ketika kudapati pria setinggi 171 cm berdiri tegap di samping sepeda motor beat berwarna birunya sambil berbicara melalui ponsel entah dengan siapa, jeans Levi's hitam membalut kakinya yang jenjang, pria itu memakai boomber hitam berlogo Persib, sepatu PDL hitam yang ia kenakan semakin menambah karismanya, topi dinasnya yang memiliki bordiran bertuliskan KORPRI di sisi kirinya ia kaitkan ke celana jeans hitamnya, ditambah Leather Gloves Half Finger berwarna hitam yang ia pakai benar-benar membuatku terpana ketika pertama kali melihatnya. 'Manly' adalah kata yang terlintas di benakku saat melihatnya, ya, pria itu adalah dirimu.
   Apabila kau membaca ini, terimalah permintaan maafku karena aku merepotkanmu ketika baru pertama kali berkunjung ke rumahku. Kau jadi harus pergi lagi ketika baru sampai, aku benar-benar meminta maaf. Mungkin hal itu dapat mempengaruhi kesan pertamamu, tapi lagi-lagi kau membuatku tersenyum bodoh ketika kau mengirim pesan singkat beberapa saat setelah kau pergi keluar. "Rindu," katamu tiba-tiba. "Rindu siapa?" balasku konyol.
   "Rindu kamu lah, siapa lagi" aku tidak mengerti kau ini makhluk seperti apa, kau selalu memiliki cara membuatku tersenyum konyol dalam kesendirian. "Ish apaan sih kamu, baru juga ketemu," jawabku diiringi dengan senyuman yang sudah jelas tak bisa kau lihat melalui layar ponsel. "Gak tau, tiba-tiba aja.."
 
Saat berhadapan langsung denganmu aku merasa canggung untuk memulai percakapan, namun kau pandai membuka pembicaraan dan mencairkan suasana dingin menjadi hangat, aku menyukaimu atas itu.
Hari itu kau tak segan membicarakan kepahitan masa lalumu kepadaku selayaknya aku adalah orang yang dapat dipercaya dan dapat memahamimu, dan aku menyukaimu atas itu.
Cara bicaramu mencerminkan cara berpikirmu, aku memang selalu menyukai pria yang memiliki wawasan luas dan cerdas, maka dari itu aku menyukaimu.
Kau selalu menyelipkan candaan-candaan ringan ketika kita berbicara, dan sesuai janjimu padaku sebelum hari itu, bahwa kau akan membuatku tersenyum dan tertawa ketika bersamamu. Kau menepati kata-katamu, maka dari itu aku menyukaimu.
Kau mengajari aku tentang hal yang belum pernah aku ketahui sebelumnya, dan aku menyukaimu karena itu.
Kau menyatu dengan lingkunganku dan berbaur dengan keluargaku, aku menyukaimu karena itu.
Kau bernyanyi bersamaku, memakan apa yang aku masak, dan memintaku untuk mengambil foto bersamamu. Aku semakin menyukaimu.

   Kita terlalu banyak tertawa dan berbicara sehingga aku lupa untuk apa kau ada disini hingga senja mulai menampakkan dirinya. Aku yang saat itu duduk di halaman depan rumah mulai kehabisan kata-kata, tidak tahu lagi apa yang harus aku katakan kepadamu. Sungguh kau harus tahu betapa setiap rongga di dalam dadaku telah penuh terisi olehmu, lalu kau membuat semestaku kacau seketika kala jemari kekarmu menggenggam jemari mungilku. Aku tidak bisa berpikir jernih saat itu; aku ingin tersenyum juga ingin menyembunyikan wajahku. Hening, kita memihak hening berkepanjangan, sungguh tak bisa aku baca apa yang ingin kau katakan. Aku tidak mau terlalu percaya diri namun gerak tubuhmu membuat segala pertahananku runtuh.
   Kontras, kau tak bisa menyembunyikan jemarimu yang bergetar ketika menggenggamku, kau menarik nafas dalam-dalam dan kembali menghembuskannya, kau menatap mataku lalu kembali tertunduk. Sunyi di antara kita membunuh waktu yang kita miliki. Namun kau tak kunjung mengatakan apa-apa.
   Kau ingat aku pernah berkata bahwa aku harus melihat mata seseorang ketika dia sedang berbicara denganku agar aku bisa melihat makna di balik matanya, bukan? Apa kau penasaran tentang apa yang aku lihat di matamu saat itu? Aku melihat keraguan. Sungguh, aku melihat netramu ketika menangkap milikku, dan yang kudapati adalah keraguan yang menyelimutimu; kau tidak tahu apakah ini sudah benar atau salah, kau tidak tahu apakah kau harus benar-benar melakukannya atau tidak, bahkan kau tidak tahu bagaimana perasaanmu sendiri saat itu. Itu adalah segala yang aku tangkap di matamu, perihal keakuratannya aku kembalikan lagi kepadamu; hanya Tuhan dan kau sendiri yang tahu betul.
   "Aku menyayangimu." akhirnya kau berbicara, satu kalimat itu kau ucapkan dalam satu tarikan nafas tanpa hambatan sedikit pun. Lalu hening. Kau tertawa renyah sambil terus menggenggam jemariku lalu beberapa saat kemudian kau melepasnya, aku tidak tahu mengapa dadaku diselimuti rasa kecewa saat itu.
   Apa? Aku berharap kau benar-benar akan memintaku menjadi milikmu saat itu? Ironinya, ya.
Mungkin kau tidak bisa meraba hati seorang wanita yang telah diberikan janji namun ironinya tak pernah terjadi.
    Aku tidak tahu apa kewarasanku masih tersisa atau tidak, kalimat-kalimatmu hari kemarin terus berlarian di kepalaku tanpa henti; udah siap di tembak? Awas nanti jangan nangis. Kita udah 'jadi' belum? Eh belum ya :')
   Jadi, apa kau paham apa yang membuat aku terluka? Bukan karena aku gagal memilikimu, tapi aku terluka oleh semua kalimatmu yang seakan-akan nyata ternyata hanya sebatas angan-angan belaka. Omong kosong, begitu tepatnya.
   Aku melepaskan kepulanganmu dengan diselimuti oleh kekecewaan juga pertanyaan, namun aku mencoba menepis keretakan hati ini dan berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja, aku tidak masalah sama sekali jika kita hanya 'merasa dekat' seperti apa yang pernah kau katakan. Hari kemarin pun aku mampu bahagia dengan segala keterbatasan yang kita miliki, jadi apa pentingnya menuntut lebih? Begitu pikirku saat melihat punggungmu semakin menjauh dari pandanganku kemudian menghilang.

   Aku benar-benar ingin menghubungimu saat itu untuk menanyakan apa kau sudah sampai rumah atau belum, namun karena suatu kendala aku harus menahan hasratku sampai esok hari, tak masalah pikirku, aku sudah tidak sabar untuk berbicara denganmu seperti hari-hari kemarin. Aku mengakhiri hari ini dengan senyum yang merekah, tak dapat kuhentikan potongan-potongan kisah yang baru saja aku alami bersamamu hari ini. Bagiku semua adalah kisah yang sangat berarti dan berharga, karena kau menjadi pria pertama yang menginjakkan kaki disini untuk menghabiskan waktu bersamaku. Aku tidak peduli lagi hubungan seperti apa yang kita miliki; kekasih, teman, sahabat, atau apapun. Persetan dengan itu semua, aku hanya ingin terus terhubung denganmu!
   Namun apa yang kudapati tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan, dalam satu kalimat yang kau berikan kepadaku pun aku bisa merasakan ada yang ganjil padamu. Ya, kau berubah terhadapku. Sejak kepulanganmu kemarin.

Minggu, 8 April

   Pagi pertamaku setelah bertemu denganmu kemarin, aku menunggu pesan darimu. Biasanya kau tak pernah absen mengirimi aku pesan di pagi hari dan bertanya apa yang akan aku masak hari itu, namun pagi ini ponselku tak kunjung berbunyi. Aku pikir mungkin kau sedang bekerja, namun aku ingat kemarin kau mengatakan bahwa kau mengambil cuti. Setelah aku bulatkan tekad, akhirnya aku putuskan untuk menghubungimu lebih dulu.
   "Selamat pagi komandan" dengan penuh keraguan aku menyapamu, ya, aku ragu karena ini bukan hal yang biasa aku lakukan. Hari-hari kemarin selalu kamu yang memulai segalanya, kau pun tidak masalah dan berkata bahwa memang seharusnya laki-laki yang memulai. Hanya dengan satu kalimat yang susah payah aku ungkapkan, dari situ aku menarik kesimpulan dangkal bahwa hariku tak akan menjadi sama lagi.
  "Persib dulu baru kamu," begitu balasmu, tak perlu menunggu lama aku membalas pesanmu "Nonton kemana?" Read
"Sama siapa?" Read
"Alhamdulillah hp aku udah bener heheh.." Read

   Ada apa dengan sikapmu yang seperti ini? Batinku.

   Kau tahu Al? Aku menunggumu. Detik berganti menit, menit berganti jam. Berkali-kali aku periksa notifikasi dari ponsel sialan itu dengan pengharapan bahwa kau yang menghubungiku, namun nihil hasilnya. Hari sudah semakin sore, kau tak kunjung menghubungiku lebih dulu. Yang lebih menyakitkan adalah aku tahu bahwa kau ada disana; terus membuka ponselmu dan entah sedang asyik berbicara dengan siapa. Sedangkan aku menunggumu dengan menyedihkan.
   Semakin hari kau semakin berubah sikap, aku tidak lagi menemukan dirimu yang dulu hangat kepadaku. Jangankan mengirimkan foto dirimu seperti biasanya, mengirimkan pesan singkat pun kau mulai enggan. Kau sedingin pagi. Kau jelas jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya, tapi kau selalu mengelaknya. Menafikkan kenyataan yang ada, dengan alasan kau sibuk melakukan hal lain. Aku berakhir menjadi si bodoh yang mempercayaimu lagi dan memaklumi segalanya. Kau sibuk, ya aku tahu. Tapi apa kau juga tahu apa yang ingin aku katakan ketika kau bersikap seperti itu?
   "Apa hari-harimu kemarin sebegitu senggangnya sehingga kau selalu mengirimi aku pesan, menanyakan kabarku tiada henti, mengirimi foto dirimu, dan menelepon aku? Sebegitu senggangnya kah dirimu hari kemarin sehingga kau sudi membuang-buang waktu berhargamu untuk berusaha mendapatkan aku yang notabennya tidak pernah terlihat ini? Apa bedanya dengan harimu yang sekarang? Apa hari-harimu kemarin terasa sia-sia karena menyertakan aku di dalamnya dan kini kau sedang berusaha mengembalikan waktumu yang berharga itu tanpa aku dan kembali menganggap aku tidak pernah ada dalam hidupmu?" Aku ingin mengatakan itu semua ketika kau mengelak atas perubahan sikapmu, namun aku hanya berakhir tersenyum kepadamu dan menahan rasa sakit ini.

Jangan buat aku menunggu sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang aku tunggu. Itu sangat menyakitkan, kau tahu?

   Ketika aku menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa bagimu, saat itu juga aku ingin pergi darimu. Menghilang tanpa kata seperti yang kau lakukan kepadaku. Tapi siapakah kita di hari kemarin? Dua orang yang bertingkah konyol seolah-olah saling memiliki dan menciptakan dunianya sendiri lalu kembali menghancurkannya? Namun hatiku selalu berkata 'nanti, satu hari lagi saja'. Kalimat itu selalu terucap setiap harinya sampai aku tidak tahu kapan ini akan berakhir. Berharap, aku berharap kau masih sudi menghubungiku, mungkin tidak akan sama rasanya. Tapi aku akan menikmati rasa remuk di hatiku seorang diri, aku hanya ingin mendengar suaramu sekali lagi.

   Ponselku berdering begitu nyaring, dan kudapati panggilan masuk darimu. Aku begitu senang ketika membuka ponselku namun aku begitu hancur ketika melihat wajah siapa yang terpampang jelas pada notifikasi panggilan masuk.
   Aku berusaha mengondisikan suaraku agar tak terlihat goyah, aku tersenyum sebisa mungkin dan bernada ceria sampai kau menyudahi panggilanmu. Aku berhasil berpura-pura, kemudian di tengah kesunyian malam aku kembali sulit untuk tertidur. Tanpa aku sadari aku meneteskan air mata, perasaanku kacau tak karuan; aku tak sanggup untuk sekedar bertanya siapa wanita yang bersamamu itu, aku tahu siapa aku. Aku ingin marah, namun aku tidak pantas melakukannya, aku tahu siapa aku. Aku. Cemburu. Yang teramat sangat, dan tak mendasar. Aku membenci diriku sendiri yang berakhir menaruh perasaan lebih padamu, aku membenci keterbukaan ku padamu hari-hari kemarin, aku tidak membencimu. Aku membenci apa yang telah keluar dari mulut manismu.

.
.
.

Seharusnya aku tidak menarik perkataanku kemarin; aku tidak mempercayai cinta juga tidak mempercayai kata-kata. Jika saja aku tetap pada pendirianku, aku tidak perlu repot-repot membuang waktu dan perasaanku seperti ini.


   Aku ingin kau membaca bagian 3. Seiring dengan selesainya tulisanku, aku juga akan menyudahi kegilaan ini.

You May Also Like

0 komentar